BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Latar belakang
dibuatnya makalah ini adalah untuk mengetahui hal-hal yang ada dalam fiqih
muamalah, khususnya mengenai Ash-shulhu (perdamaian). Karena di dalam
perdamaian ini banyak hal yang dapat kita gali untuk menjadi tambahan ilmu
serta wawasan, entah itu dari rukun, syarat, macam-macam, dan hikmah Shulhu itu
sendiri.
Selain itu, kita
sebagai umat islam patut mengetahui bahwa di dalam islam,
perdamaian diperbolehkan, asalkan tidak merubah hukum (yang haram menjadi halal
atau sebaliknya).
BAB II
PEMBAHASAN
ASH-SHULHU ( PERDAMAIAN )
1. Pengertian
dan Hukum Shulhu
a.
Pengertian Shulhu
Ash-Shulh berasal dari bahasa Arab yang berarti perdamaian, penghentian
perselisihan, penghentian peperangan. Dalam kazanah keilmuan, ash-shulhu
dikategorikan sebagai salah satu akad berupa
perjanjian diantara dua orang yang berselisih atau berperkara untuk
menyelesaikan perselisihan diantara keduanya. Dalam terminologi ilmu fiqih
ash-shulhu memiliki pengertian perjanjian untuk menghilangkan polemik antar
sesama lawan sebagai sarana mencapai kesepakatan antara orang-orang yang
berselisih.
Misalnya
seseorang menuduh orang lain mengambil suatu hak yang diklaimnya sebagai
miliknya, lalu tertuduh mengakui karena ketidaktahuannya terhadap penuduh,
kemudian tertuduh mengajak penuduh berdamai dengan tujuan menjauhi atau
menghindari suatu permusuhan dan sumpah yang diwajibkan atas tertuduh yang
menyangkal tuduhan.
Di dalam Ash-shulhu ini
ada beberapa istilah yaitu: Masing-masing pihak yang mengadakan perdamaian
dalam syariat Islam distilahkan musalih, sedangkan persoalan yang
diperselisihkan di sebut musalih’anhu, dan perbuatan yang dilakukan oleh
salah satu pihak terhadap pihak yang lain untuk mengaklhjiri pertingkaian/pertengkaran
dinamakan dengan musalih’alaihi atau di sebut juga badalush shulh
b.
Hukum Shulhu
Perdamaian dalam syariat Islam sangat dianjurkan.
Sebab, dengan perdamaian akan terhindarlah kehancuran silaturahmi (hubungan kasih sayang) sekaligus permusuhan di antara
pihak-pihak yang bersengketa akan dapat diakhiri.
Adapun dasar hukum anjuran diadakan perdamaian dapat dilihat dalam
al-qur’an, sunah rasul dan ijma.
Al-qur’an menegaskan dalam surat al-hujarat ayat 9
yang artinya “jika dua golongan orang beriman bertengkar damaikanlah mereka.
Tapi jika salah satu dari kedua golongan berlaku
aniaya terhadap yang lain maka perangilah orang yang aniaya sampai kembali
kepada perintah Allah tapi jika ia telah kembali damaiakanlah keduanya dengan
adil, dan bertindaklah benar. Sungguh Allah cinta akan orang yang bertindak
adil (QS. Al-Hujurat : 9)”.
Mengenai hukum shulhu diungkapkan juga dalam
berbagai hadits nabi, salah satunya yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban
dan Imam Tirmizi yang artinya “perdamaian dibolehkan dikalangan
kaum muslimin, kecuali perdamaian menghalalkan yang haram atau
mengharamkan yang haram. Dan orang-orang islam (yang mengadakan perdamaian itu)
bergantung pada syarat-syarat mereka (yang telah disepakati), selain syarat
yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram (HR. Ibnu Hibban dan
Turmuzi)”.
Pesan terpenting yang dapat dicermati dari hadits
di atas bahwa perdamaian merupakan sesuatu yang diizinkan selama tidak
dimanfaatkan untuk hal-hal yang bertentangan dengan ajaran dasar keislaman.
Untuk pencapaian dan perwujudan perdamaian, sama sekali tidak dibenarkan
mengubah ketentuan hukum yang sudah tegas di dalam islam. Orang-orang islam
yang terlibat di dalam perdamaian mesti mencermati agar kesepakatan perdamaian
tidak berisikan hal-hal yang mengarah kepada pemutarbalikan hukum; yang halal
menjadi haram atau sebaliknya.
Dasar hukum lain yang mengemukakan di adakannya
perdamaian di antara para pihak-pihak yang bersengketa di dasarkan pada ijma.
2.
Rukun dan Syarat Shulhu
a.
Rukun Shulhu
Adapun yang menjadi
rukun perdamaian adalah:
1)
Mushalih, yaitu masing-masing pihak yang melakukan akad perdamaian untuk
menghilangkan permusuhan atau sengketa.
2)
Mushalih’anhu, yaitu persoalan-persoalan yang diperselisihkan atau disengketakan.
3)
Mushalih ’alaih, ialah hal-hal yang dilakukan oleh salah satu pihak terhadap
lawannya untuk memutuskan perselisihan. Hal ini disebut juga dengan istilah
badal al-shulh.
4)
Shigat ijab dan Kabul
di antara dua pihak yang melakukan akad perdamaian.
Ijab kabul
dapat dilakukan dengan lafadz atau dengan apa saja yang menunjukan adanya ijab Kabul yang menimbulkan perdamaian, seperti perkataan: “Aku
berdamai denganmu, kubayar utangku padamu yang lima puluh dengan seratus” dan pihak lain
menjawab “ Telah aku terima”.
Dengan adanya
perdamaian (al-shulh), penggugat berpegang kepada sesuatu yang disebut badal
al-shulh dan tergugat tidak berhak meminta kembali dan menggugurkan gugatan,
suaranya tidak didengar lagi.
Apabila rukun itu telah
terpenuhi maka perdamaian di antara pihak-pihak yang bersengketa telah
berlangsung. Dengan sendirinya dari perjanjian perdamaian itu lahirlah suatu
ikatan hukum, yang masing-masing pihak untuk memenuhi / menunaikan pasal-pasal
perjanjian perdamaian.
b. Syarat Shulhu
Adapun yang menjadi
syarat sahnya suatu perjanjian perdamaian dapat diklasifikasikan kepada:
1) Menyangkut subyek,
yaitu musalih (pihak-pihak yang mengadakan perjanjian perdamaian)
Tentang subyek atau
orang yang melakukan perdamaian haruslah orang yang cakap bertindak menurut
hukum. Selain cakap bertindak menurut hukum, juga harus orang yang mempunyai
kekuasaan atau mempunyai wewenang untuk melepaskan haknya atas hal-hal yang
dimaksudkan dalam perdamaian tersebut.
Adapun orang yang cakap
bertindak menurut hukum dan mempunyai kekuasaan atau wewenang itu seperti :
a. Wali, atas harta benda orang yang berada di bawah perwaliannya.
b. Pengampu, atas harta benda orang yang berada di bawah pengampuannya
c. Nazir (pengawas) wakaf, atas hak milik wakaf yang berada di bawah
pengawasannya.
2) Menyangkut obyek perdamaian
Tentang objek
perdamaian haruslah memenuihi ketentuan sebagai berikut :
a. Untuk harta (dapat
berupa benda berwujud seperti tanah dan dapat juga benda tidak berwujud seperti
hak intelektual) yang dapat dinilai atau dihargai, dapat diserah terimakan, dan
bermanfaat.
b. Dapat diketahui
secara jelas sehingga tidak melahirkan kesamaran dan ketidak jelasan, yang pada
akhirnya dapat pula melahirkan pertikaian yang baru pada objek yang sama.
3) Persoalan yang boleh di damaikan
Adapun persoalan atau
pertikaian yang boleh atau dapat di damaikan adalah hanyalah sebatas menyangkut
hal-hal berikut :
a. Pertikaian itu berbentuk harta yang dapat di nilai
b. Pertikaian menyangkut hal manusia yang dapat diganti
Dengan kata lain,
perjanjian perdamaian hanya sebatas persoalan-persoalan muamalah (hukum
privat). Sedangkan persoalan-persoalan yang menyangkut hak ALLAH tidak dapat di
lakukan perdamaian.
3.
Macam-macam Shulhu
Secara garis besar ash-shulhu terbagi atas empat macam, yaitu:
a)
Perdamaian antara kaum muslimin dengan masyarakat nonmuslim, yaitu membuat
perjanjian untuk meletakkan senjata dalam masa tertentu (dewasa ini dikenal
dengan istilah gencatan senjata), secara bebas atau dengan jalan mengganti
kerugian yang diatur dalam undang-undang yang disepakati dua belah pihak.
b)
Perdamaian antara penguasa (imam) dengan pemberontak, yakni membuat
perjanjian-perjanjian atau peraturan-peraturan mengenai keamanan dalam Negara
yang harus ditaati, lengkapnya dapat dilihat dalam pembahasan khusus tentang
bughat.
c)
Perdamaian antara suami dan istri dalam sebuah keluarga, yaitu membuat
perjanjian dan aturan-aturan pembagian nafkah, masalah durhaka, serta dalam
masalah menyerahkan haknya kepada suaminya manakala terjadi perselisihan.
d)
Perdamaian antara para pihak yang melakukan transaksi (perdamaian dalam
mu’amalat), yaitu membentuk perdamaian dalam mesalah yang ada kaitannya dengan
perselisihan-perselisihan yang terjadi dalam masalah ma’amalat.
4.
Hikmah Shulhu
Dalam menyelesaikan
berbagai masalah yang terjadi antara ummat manusia, Islam telah memberikan
beberapa konsep dasar untuk membantu menyelesaikan sengketa yang terjadi.
Penyelesaian masalah ini dapat melalui shulhu (perdamaian).
Imam Ash-Shan’ani
menerangkan hadits di atas dengan berkata :
قَدْ
قَسَّمَ الْعُلَمَاءُ الصُّلْحَ أَقْسَامًا، صُلْحُ الْمُسْلِمِ مَعَ الْكَافِرِ،
وَالصُّلْحُ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ وَالصُّلْحُ بَيْنَ الْفِئَةِ الْبَاغِيَةِ
وَالْعَادِلَةِ وَالصُّلْحُ بَيْنَ الْمُتَقَاضِيَيْنِ وَالصُّلْحُ فِي الْجِرَاحِ
كَالْعَفْوِ عَلَى مَالٍ وَالصُّلْحُ لِقَطْعِ الْخُصُومَةِ إذَا وَقَعَتْ فِي
الْأَمْلَاكِ وَالْحُقُوقِ وَهَذَا الْقِسْمُ هُوَ الْمُرَادُ هُنَا وَهُوَ
الَّذِي يَذْكُرُهُ الْفُقَهَاءُ فِي بَابِ الصُّلْحِ
“Para ulama telah membagi ash-shulhu
(perdamaian) menjadi beberapa macam; perdamaian antara muslim dan kafir,
perdamaian antara suami isteri, perdamaian antara
kelompok yang bughat dan kelompok yang adil, perdamaian antara dua orang yang
bertahkim kepada qadhi (hakim), perdamaian dalam masalah tindak pelukaan
seperti pemberian maaf untuk sanksi harta yang mestinya diberikan, dan
perdamaian untuk memberikan sejumlah harta kepada lawan sengketa jika terjadi
pada harta milik bersama (amlaak) dan hak-hak. Pembagian inilah yang dimaksud
di sini, yakni pembagian yang disebut oleh para fuqoha pada bab ash-shulhu
(perdamaian).” (Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, 4/247).
Secara ringkas hikmah
ash-shulhu dapat mengakibatkan penyelesaian suatu masalah dengan jalan yang
sama-sama adil bagi kedua belah pihak dan tetap berada dijalan allah serta
syariat islam. Serta melindungi seorang muslim dari penyakit hati terutama iri
dan dengki juga menghindari seseorang dari sikap curiga terhadap lawannya dalam
suatu sengketa atau masalah.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
- Ash-shulhu (perdamaian) adalah salah satu akad berupa perjanjian diantara dua orang yang berselisih atau berperkara untuk menyelesaikan perselisihan diantara keduanya.
- Hukum Shulhu dalam Al-Qur’an maupun hadits diperbolehkan, sebagaimana yang tercantum dalam surat Al-Hujurat ayat 9 dan sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Tirmizi.
- Rukun Shulhu ada empat, yaitu mushalih, mushalih ‘alaih, mushalih ‘anhu dan Iijab Kabul.
Syarat Shulhu meliputi
pihak-pihak yang mengadakan perjanjia perdamaian, obyek perdamaian, dan
persoalan yang boleh didamaikan.
Shulhu secara garis besar terbagi
empat, yaitu:
- Perdamaian antara kaum muslimin dengan
masyarakat nonmuslim
- Perdamaian antara penguasa (imam) dengan
pemberontak
- Perdamaian antara suami dan istri dalam
sebuah keluarga
- Perdamaian antara para pihak yang
melakukan transaksi
- Hikmah Shulhu antara lain:
- Penyelesaian suatu
masalah dengan jalan yang sama-sama adil bagi kedua belah pihak
- Melindungi seorang
muslim dari penyakit hati terutama iri dan dengki
- Menghindari seseorang
dari sikap curiga terhadap lawannya dalam suatu sengketa atau masalah.
DAFTAR PUSTAKA
Syaikh Jabir al-Jaza’iri, Abu Bakar. 2008. Minhajul Muslim. Jakarta : Darul Haq.
Dr. H. Hendi Suhendi, M.Si. 2002. Fiqih Muamalah. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Daftar Isi
Kata Pengantar
…………………………………………………………………………. 1
Daftar Isi
………………………………………………………………………………. 2
BAB I. Pendahuluan
- Latar Belakang ………………………………………………………………… 3
- Tujuan …………………………………………………………………………. 3
- Metode Penulisan ……………………………………………………………. 3
- Batasan Masalah ……………………………………………………………... 3
BAB II. Pembahasan
- Pengertian dan Hukum Shulhu ……………………………………………… 4
- Rukun dan Syarat Shulhu ……………………………………………………. 5
- Macam-macam Shulhu ………………………………………………………. 8
- Hikmah Shulhu………………………………………………………………... 8
BAB III. Penutup
Kesimpulan
………………………………………………………………… 10
Daftar Pustaka ………………………………………………………………………. 11
Kata Pengantar
Segala puji dan syukur
kami panjatkan kehadirat Allah swt., karena atas karunianya tugas makalah mata
kuliah Fiqih Siyasah dan Muamalah ini dapat terselesaikan. Makalah ini
berisi tentang “ASH-SHULHU (PERDAMAIAN)”.
Kami menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh sebab itu kami berharap Ibu
Dosen dapat memberikan saran dan kritiknya demi kesempurnaan makalah ini.
Dengan ini juga kami
berharap yang sebesar-besarnya agar makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
Amin.
Ciputat , 09 Desember 2009
Penyusun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar